oleh Ismael Yahalah
Penundaan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu menunjukkan betapa tidak efektifnya sistem politik yang berlangsung. Yang mengkhawatirkan, itulah model yang umum dikenal di masyarakat tentang bagaimana tatanan sosial dapat dikelola. Dari kondisi ini ada beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dalam rangka membangun tatanan baru yang lebih ideal.
Hal pertama dan terpenting adalah betapa pun tidak sesuai dengan keinginan kita yakni membatalkan rencana kenaikan harga, penundaan tersebut adalah buah keberhasilan dari rangkaian perlawanan dan protes keras yang berlangsung hampir dua pekan tanpa henti. Tanpa tekanan dan protes yang melibatkan banyak orang serta ‘kejadian-kejadian tidak biasa’ di beberapa tempat, mustahil ada perubahan yang berarti, bahkan bukan tidak mungkin kenaikan BBM sudah kita alami sekarang ini.
Sementara itu ada pelajaran penting lainnya yang senantiasa luput dari perhatian kita yang justru harus dipahami secara mendasar. Bahwa persoalan tentang rencana kenaikan harga bukanlah sekedar skema ekonomi belaka, melainkan juga tentang segelintir orang yang menentukan kehidupan seluruh masyarakat.
Pemaksaan Yang Sah dan Konstitusional
Kita semua tahu, keputusan tentang kenaikan maupun penundaan tidak lahir begitu saja. Ia lahir dari pertimbangan dan hitung-hitungan politik.
Lalu, mengapa kita turun ke jalan dan menyatakan penolakan serta kemarahan kita? Karena rencana dan keinginan itu bukanlah keinginan dan kemauan kita.
Lalu jika bukan kemauan dan keinginan kita, mengapa hal ini tetap terus dipaksakan ? Jawabnya : karena ada yang memaksakan dan lagipula pemaksaan tersebut sah secara hukum dan bersifat konstitusional!
Tentu saja hal ini juga akan menimbulkan pertanyaan baru : bagaimana bisa sebuah pemaksaan yang berdampak pada kehidupan mayoritas orang di negeri ini dapat disahkan, dilegalkan, dan dijadikan landasan untuk melahirkan aturan-aturan menyengsarakan berikutnya?
Dan kita tahu jawabannya : demokrasi.
Demokrasi Artinya ‘Seolah-olah Terwakilkan’
Tidak berarti dengan mencurigai demokrasi berarti menganjurkan kediktatoran. Ini bukanlah cara berfikir yang baik. Tujuan dari argumen ini justru menunjukkan bahwa konsep mapan tentang demokrasi bukanlah sesuatu yang final dan karenanya mesti terus diperiksa.
Benar bahwa hampir seluruh negara di dunia menganut demokrasi sebagai alternatif dari sistem kediktatoran. Demokrasi adalah pandangan bahwa rakyatlah yang semestinya berkuasa, dan karena itu mereka harus memegang kekuasaan yang dijalankannya melalui badan-badan seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya untuk membatasi kekuasaan satu pihak agar tidak bertindak melampaui batas, sebagaimana yang sering terjadi pada sistem pemerintahan otoriter.
Ada berbagai nama dan jenis yang kita kenal seperti demokrasi parlementer ala Eropa, demokrasi terbatas, perwakilan atau demokrasi terpimpin ala Soekarno. Dari sekian banyak perbedaan-perbedaannya, konsep-konsep tersebut memiliki persamaan kunci : bahwa kekuasaan seolah-olah berada di tangan rakyat, tetapi dalam prakteknya sehari-hari, ia dialihkan ke tangan sekelompok orang yang dinamakan ‘wakil’. Alih kuasa ini dilakukan secara resmi, sah dan konstitusional. Inilah rahasia dari demokrasi.
Karenanya ajaran inti dari demokrasi adalah mengatasnamakan orang banyak. Konsepnya bahwa pemerintah bisa merencanakan sesuatu tanpa keharusan untuk mempertimbangkan persetujuan dan tawaran masyarakat. Parlemen bisa mengajukan sesuatu, entah undang-undang, interperlasi, dan lainnya, tanpa ada keharusan untuk meminta persetujuan atau penolakan dari yang diwakilinya.
Mereka memang tidak perlu melakukannya karena tidak ada konsekuensi hukum dan politik yang mengaturnya. Dalam demokrasi, sekali kita memilih para wakil, maka selama 5 tahun ke depan wewenang dan haknya hampir-hampir tanpa batas. Mungkin satu-satunya batasan adalah aspek moral, tetapi tentu sangat konyol mempertaruhkan hidup mati kita dengan sesuatu yang sama sekali tidak bisa diikat.
Kembali ke seteru di parlemen tentang menolak dan menyetujui kenaikan harga BBM misalnya, pemerintah tidak harus meminta persetujuan kita terhadap keputusan-keputusan yang akan diambilnya. Bahkan jika kita menolak mati-matian pun, keputusan pemerintah tetap tidak bisa disalahkan sepanjang memenuhi aturan-aturan formal.
Drama Politik
Drama politik BBM menunjukkan bahwa segala keputusan penting yang menyangkut kehidupan kita ditentukan hanya oleh segelintir orang. Hal ini harus dipahami oleh setiap orang bahwa bukan masalah BBM saja yang mendapat perlakuan seperti ini. Masalah-masalah lain seperti korupsi, kemacetan, perusakan lingkungan, upah murah, penembakan rakyat, penggusuran dan sebagainya, muncul dari situasi dimana kehidupan kita dikendalikan oleh segelintir orang.
Tetapi ini bukanlah sekedar jumlah yang segelintir itu, masalah pokoknya adalah kontrol atas kehidupan kita bukan di tangan kita sendiri melainkan ada pada mereka yang ‘seolah-olah mewakili kita.’
Sementara itu, kebanyakan orang beranggapan bahwa error tidak terletak pada prosedur dan mekanisme melainkan orang-orang atau partai yang duduk di posisi tersebut. Dan sebagai solusinya kita harus memilih orang atau partai yang betul-betul berkomitmen dan berpihak pada rakyat, dan mendudukkan mereka. Dengan mengganti orang dan partai yang berpihak dan punya komitmen, untuk duduk di pemerintahan, parlemen, lembaga hukum, kita dapat terhindar dari ancaman seperti kenaikan harga, impor pangan, pengrusakan lingkungan atau kebebasan pers.
Ada pula pandangan kritis mengatakan bahwa kritik terhadap model ini sesungguhnya adalah kritik terhadap model demokrasi liberal atau demokrasi borjuis, bukan pada model yang lebih ideal dan dianggap sebagai solusi atas kebangkrutan demokrasi borjuis, dan sebagai tawaran demokrasi sesungguhnya atau acapkali disebut sebagai demokrasi kerakyatan.
Benarkah? Baiklah kita uji pendapat itu.
Pada saat kita berhasil menggagalkan keputusan-keputusan penting, seperti kenaikan harga BBM misalnya, sesungguhnya kita tetap tidak bisa beranjak dari posisi : menolak atau menerima keputusan yang direncanakan. Hanya posisi itulah yang kita miliki.
Untuk itu ada tiga hal mendasar yang harus kita periksa, yakni : 1) siapa sesungguhnya yang berkuasa atau memegang kekuasaan? 2) bagaimana kita mengontrol kuasa yang kita miliki, dan 3) bagaimana kita mengakses kekuasaan itu setiap waktu?
Mari kita jawab satu persatu. Tiga poin standar ini mensyaratkan bahwa selama kita masih terwakili dan termediasi oleh pihak lain dalam menentukan keinginan kita, maka tidak akan pernah ada yang namanya kebebasan untuk diri kita–sesuatu yang justru dielu-elukan dalam demokrasi.
Jawaban dari pertanyaan pertama sungguh jelas: bukanlah kita yang memegang kuasa atas diri dan kehidupan kita. Ada segelintir orang di parlemen, di pemerintahan, di perekonomian, di ruang-ruang sosial budaya, yang berkuasa atas nama kita.
Jawaban kedua juga jelas. Kita tidak bisa mengontrol kuasa yang ada pada kita. Kuasa yang ada di tangan kita, yang dipercaya hanya dalam tataran teori saja, diambil paksa oleh konstitusi untuk diberikan kepada pihak-pihak tertentu seperti anggota parlemen, birokrasi pemerintahan, dan lembaga sosial lain.
Sementara untuk pertanyaan terakhir juga sangat terasa bahwa kita tidak bisa senantiasa mengakses kontrol tersebut melainkan hanya momen-momen tertentu, seperti pemilu yang berlangsung 5 tahun sekali. Itu pun hanya sebatas memilih orang atau partai, dan setelahnya membebaskan orang-orang tersebut melakukan ‘apa yang mereka anggap benar’.
Karenanya untuk betul-betul dapat menentukan nasib dan kehidupan sendiri, kita harus membangun sistem sosial yang juga betul-betul berbeda dari hari ini. Sebuah tatanan dimana kekuasaan berada di tangan kita sendiri –bukan segelintir elit, langsung –tidak terwakilkan dan termediasi, dan berada dalam jangkauan kita sehari-hari secara ruang dan waktu.
Demikianlah bahwa keberhasilan menunda kenaikan BBM bukan saja memberikan pelajaran bahwa jika bukan rakyat sendiri yang berupaya maka tidak akan ada yang bisa,tetapi juga bahwa hanya segelintir saja yang menentukan kehidupan mayoritas orang di negeri ini. Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sistem politik melegalkan situasi dimana mayoritas orang hanya bisa mengambil posisi pasif, dan bukan aktif.
Ke depan, agar tidak terjebak dalam liang yang sama, kita harus mulai memperjuangkan dunia lain dari saat ini.
Sebelumnya dimuat di Serum #3 Juni 2012
*co-pas dari webblog Kontinum*