Sebuah realitas bisa dikatakan sangat ironis dan sebuah kenyataan berbalik dengan yg selama ini biasa orangorang katakan dan fahami. Yogyakarta punya sebuah makna kata dan kota yg dulu sangat dipuja, memiliki arti religi budaya, dan sangat dipandang orang. Tapi apa yg terjadi di zaman sekarang, yg kata orang globalisasi. Sesuatu yg sangat berbalik arah. Banyak orang merasa bahwa apa arti sebuah globalisasi di kota Yogyakarta, terlebih rakyat petani seperti aku, yg notabene Yogyakarta adalah kota pendidikan, budaya, religi, dan seni dan semua yg dianggap baik. Tetapi ketika dirasakan dan difahami dengan hati yg bersih, apakah disitu ditemukan sebuah kebenaran tentang semua yg dikatakan orangorang? Disitu malah timbul adalah sebuah pertanyaan dan realita yg sangatsangat berbalik_
Yogyakarta banyak berdiri kampuskampus bersimbol kampus kerakyatan. Banyak budayawan selalu berkata, “Tahta untuk Rakyat”, bahkan seorang raja pun tak mau kalah dengan katakata itu. Senimans selalu menjual berbagai macam simbolsimbol kerakyatan dan cerita penindasan. Banyak orang yg mengatas-namakan aktifis selalu menggembar-gemborkan tentang hakhak rakyat harus dipenuhi, hakhak rakyat harus dilindungi. Tapi apa, ketika harus memandang kenyataan yg terjadi di sini, di pesisir Kulonprogo, apa yg terjadi. Kulonprogo cuma beberapa menit dari sebuah kata Yogyakarta. Semua diam. Semua ketakutan. Sepertinya, bahkan semua berbalik arah. Entah di mana lagi intelektual kampuskampus itu berdiri? Di mana itu budayawan, seniman, dan aktifis bersembunyi?
Sebuah kenyataan yg lagilagi membuat sakit hati kami rakyat petani. Sebuah penindasan yg sangat tertata di sebuah kota Yogyakarta, ketika mereka harus berhadapan dengan kekuatan modal dan kekuasaan. Sehingga bisa dibilang bahwa ini adalah sebuah ilusi, sebuah dunia yg dibuat dan diciptakan hanya sekedar jadi teori dan sandiwara, yg pada akhirnya lagilagi petani yg harus dikorbankan. Pertanyaan yg harusnya dijawab dan dilakukan, serta dipertanggung-jawabkan oleh mereka yg ngakungaku sebagai akademisi, budayawan, seniman, dan aktifis. Di mana kebenaran sloganslogan-mu? Dan jika andaanda tidak punya rasa malu dan manusiawi [kata yg sudah terlalu banyak dipakai mereka], maka tidurlah selama-lamanya. Kami tidak akan pernah diam, dan kami akan terus melawan dan terus mempertahankan hakhak kami! Bertani atau mati! Diam tertindas tegak melawan!
Widodo – Petani Pesisir Kulonprogo
Garongan, 7 Januari 2009
*Catatan ini pernah dimuat dalam jurnal Amor Fati #4 tahun 2010*