“Kita semua hanyalah penumpang”
Kita sadar bahwa eksistensi kita di atas bumi hanyalah sementara. Kita tidak memiliki kendali untuk mengarahkan langkah kita dalam perjalanan kehidupan. Kita sadar, kita tidak memegang kendali atas kecepatan, durasi, ataupun tujuan kita. Inilah yang kita alami dalam hidup. Sebagai penumpang, kita harus merasa puas hanya dengan melihat kehidupan dari balik jendela.
“Kita hanyalah penumpang”
Kita sadar bahwa tak ada satupun yang abadi. Cepat atau lambat, kendaraan yang kita tumpangi akan sampai pada tujuan akhir.
Kita sadar bahwa kebahagiaan adalah emosi yang sifatnya sementara. Cepat atau lambat, hubungan antarmanusia akan berantakan. Tekanan-tekanan akan selalu kita rasa sejak terbangun dari tidur. Ketika kekecewaan meninggalkan luka yang mendalam, kebahagiaan pun pudar.
Kita paham bahwa cinta adalah kenikmatan yang bersifat sementara. Lambat laun, jantung takkan lagi berdegup kencang. Perlahan tatapan yang penuh pesona mulai kehilangan keajaibannya, seketika hasrat mulai memudar dan cinta pun berakhir.
Kita paham bahwa janji adalah suatu pilihan yang dapat ditarik kembali. Lambat laun, janji diingkari, rencana-rencana tidak lagi dianggap penting, kebohongan muncul ke permukaan dan kepercayaan pun pudar.
Kita paham bahwa kedamaian lambat laun hanyalah ilusi. Seorang demonstran tertembak di jalanan. Ledakan bom merenggut nyawa orang-orang di tempat umum. Peluru otoritas menyasar ke dada anak kecil yang tak tahu apa-apa. Dimana perdamaian itu?
Kita paham bahwa pekerjaan tidak berlangsung terus-menerus. Bagai mesin yang makin lama makin usang atau produk fashion yang tidak up-to-date, kita tak lagi dianggap mampu melakukan pekerjaan sesuai perintah atasan. Kita pensiun atau di-PHK. Lambat laun, teknologi semakin berkembang, sektor kerja mulai berubah dan pasar mengalami krisis. Lapangan kerja semakin menyempit.
Kita paham bahwa seluruh kehidupan bersifat sementara dan tak menentu. Kita tak punya kendali untuk memilih apa yang ingin kita lihat melalui jendela ataupun orang yang duduk di samping kita. Apa yang sudah tersedia, itulah yang harus kita terima; Tak ada gunanya memprotes. Karena itu, perasaan kita sulit tergugah ketika sesuatu terjadi di depan kita. Seperti halnya para penumpang transportasi publik yang menyaksikan kejadian tragis di jalanan dengan kebungkaman dan ketidakberdayaan, demikian pula para penumpang kehidupan menyaksikan setiap tekanan yang dilakukan oleh kekuasaan dalam kebungkaman dan ketidakberdayaan ketimbang menyatakan hasrat untuk direalisasikan sekarang juga. Kehidupan yang bersifat sementara ini telah membuat kita buta, tuli, dan mudah menyerah sebelum merealisasikan hasrat kita.
Dengan demikian, kita tak lagi terkejut bila kebebasan adalah suatu kondisi yang provisional. Apa yang dulu merupakan alasan utama untuk hidup, melawan, dan mati, sekarang menjadi sesuatu yang dianggap remeh karena bagi kebanyakan orang, rasa aman adalah segalanya. Lambat laun, hal ini akan merasuk pada setiap orang yang dulu berbicara dengan lantang dan fasih, yang penuh cinta, yang memprotes dan hidup tanpa perlu meminta izin pada otoritas manapun. Kebebasan pun memudar.
Tapi, tidak bagi mereka yang sudah muak menjadi penonton di balik jendela dan ingin melepaskan diri dari mesin sosial. Bagaimanapun caranya. Mereka yang masih ngotot bahwa kebebasan merupakan alasan utama untuk hidup dan pemberontakan adalah satu-satunya jalan keluar.
“Bon Voyage” bagi kalian yang merasa nyaman hanya sekedar mengintip dari balik jendela transportasi kehidupan. Sementara kami akan menggunakan segala cara untuk tidak menjadi sekedar penonton tak berdaya atas kehidupan kami sendiri.
Bila suatu saat kendaraan yang kalian tumpangi mengalami kerusakan dan nyala api terlihat di kejauhan, itu berarti kami memberikan kesempatan pada kalian, sekali lagi, untuk tidak hanya menatap dari balik jendela. Namun, agar kalian memecahkan jendela dan melompat bebas ke udara dalam gairah yang dibekali dengan rima puisi yang akan kita kumandangkan di setiap transportasi kehidupan yang berusaha mengontrol dan mendominasi kemana seharusnya arah hidup kita.
*co-pas dari webblog UltraEgoist*